3 Tahun lalu, saat usiaku masih 16 tahun. Aku pernah belajar di sebuah kampung yang kebanyakan orang menyebutnya sebagai kampung Inggris. Dan sesuai dengan julukan kampung itu, aku mempelajari bahasa Inggris dengan suasana dan lingkungan yang sangat kondusif untuk belajar. Setiap berjalan menyusuri perkampungan, hampir bisa dipastikan bahwa akan dijumpai pelajar lain yang juga sedang mempelajari bahasa di kampung ini.
Aku tinggal di sebuah Dormitory kecil yang dikelilingi kebun dan sawah. Sangat sejuk dan segar udaranya. Setiap malam selalu ada agenda asrama yang intinya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengamalkan ilmu bahasa. Terkadang diadakan debat, presentasi, diskusi, atau juga membawakan cerita. Yang tentunya itu semua dilakukan menggunakan bahasa Inggris. Meski dalam prakteknya, aku lebih banyak menggunakan Inggris versi ngasal.
Suatu ketika di malam yang cerah. Kita duduk melingkar seperti biasa. Menjalankan ritual agenda harian. Saat itu sedang jadwal presentasi, dan kebetulan aku juga kebagian jatah untuk mengikuti ritual agenda harian.
Semua peserta sepakat bahwa presentasi malam itu adalah tentang pencapaian yang ingin dilakukan di masa yang akan datang. Atau bahasa sederhananya adalah tentang Mimpi. Impian.
Terkadang aku agak bingung, hampir setiap orang yang kutemui selalu mengutarakan target pencapaian yang kurang lebih sama dengan kebanyakan orang lainnya, terkait waktu dan usia. Mungkin hanya berbeda pada objek yang ingin dicapai. Kebanyakan orang menyampaikan target tentang pendidikan dan karir. Ya, bukan berarti mengutarakan hal semacam itu adalah tidak benar. Tapi bagiku itu sedikit lucu, bagaimana mungkin sekian banyak orang dengan berbagai latar belakang suku dan agama, namun memiliki pola pemikiran yang “hanya itu-itu saja”? Seolah tidak ada jalan lain. Terlalu sistematis. Hingga pada tingkat tertentu, aku tidak lagi bisa membedakan antara mereka yang memiliki idealisme dan mereka yang tidak memilikinya.
Aku hanya merasa puas ketika aku berbicara A di tengah masyarakat yang berbicara B. Seperti pada malam itu, aku mengutarakan tentang keinginanku yang bisa mandiri finansial sebelum usia 20 tahun. Dalam pandangan mereka, apa yang kuutarakan dihadapan mereka adalah hal yang barangkali konyol. Orang-orang itu memang terlalu sistematis, sehingga memunculkan asumsi bahwa usia 20 itu (harusnya) hanya dihabiskan untuk meniti pendidikan, dan belum saatnya untuk berpenghasilan.
Kini, 3 tahun sudah berlalu. Aku merasakan banyak kejadian yang jika dirunut secara berurutan, maka aku sendiri akan merasa tercengang dengan jejak langkah yang pernah kulalui. Amaze!
1 tahun belakangan ini, aku lebih banyak mencukupi kebutuhan hidup menggunakan materi yang kuperoleh dengan ikhtiarku sendiri. Rasanya sangat berbeda dengan ketika mendapatkan kucuran beasiswa dari orangtua.
Suatu ketika, di tahun 2011 ini, ada beberapa orang yang bertanya padaku. Tentang aktifitas dan rutinitasku selama ini. Termasuk yang menjadi pertanyaan bagi mereka adalah biaya operasional yang kukeluarkan. Mungkin ada beberapa pihak yang menyoroti aktifitasku yang gemar loncat kesana kemari, pindah dari satu kota ke kota lain seperti halnya keluar-masuk wese. Tanpa beban.
“Emang kerjanya apa sih? Kok bisa jalan-jalan gitu?”
Pertanyaan serupa juga pernah diajukan oleh beberapa orang lainnya. Sebuah nada tanya yang membutuhkan ketegasan tentang operasional yang kukeluarkan untuk berpetualang. Mayoritas orang berasumsi bahwa bepergian itu membutuhkan biaya. Itu benar, tapi sebuah anggapan keliru jika biaya itu harus kita yang mengeluarkan. Faktanya, seringkali aku bepergian bukan dengan menggunakan biaya yang sengaja kualokasikan untuk melakukan perjalanan itu. Terlebih sejak aku membuat pengumuman singkat tentang sebuah ambisi dalam melebarkan sayap dakwah media.
Aku selalu percaya bahwa ketika aku melakukan sesuatu dengan orientasi yang luas, maka secara tidak langsung (selain menjangkau banyak orang) hal itu juga menjadikanku sebagai salah satu dari bagian orientasi yang luas itu tadi. Seperti yang pernah kutuliskan dalam catatanku yang lain, Melacak Dengan Obsesif. Di sana disebutkan seperti ini;
Obsesi yang baik untuk mendukung percepatan pencapaian visi dan misi adalah diawali dengan niat yang menyeluruh, yang manfaatnya bisa dirasakan oleh banyak orang. Bukan obsesi untuk keuntungan pribadi.
Ibaratnya adalah seperti diri kita yang sedang berada dalam sebuah organisasi, yang di dalamnya terdapat beberapa struktur dan anggota. Organisasi pasti mempunyai visi dan misi, dan setiap anggotanya mempunyai kewajiban untuk mendukung penuh planning yang telah dirancang oleh struktur. Ketika kita bergerak untuk kepentingan organisasi, dan ketika apa yang kita lakukan itu membuahkan hasil, siapa yang kemudian memetik manis dari hasil yang kita kerjakan? Sudah tentu yang merasakan adalah semua pihak yang terlibat dalam organisasi tersebut, dan kabar baiknya adalah bahwa diri kita termasuk salah satu diantaranya.
Kalau dilihat dari sudut pandang Ilmu Ekonomi, maka sebuah operasional itu bisa tetap berjalan ketika pemasukan (income) nilainya lebih besar dari pengeluaran (demand). Aku tidak mungkin bisa berpetualang sedemikian rupa jika apa yang kuperoleh tidak sebanding dengan apa yang kukeluarkan.
Tapi sayangnya, aku bukanlah orang yang berhenti hanya berpedoman pada buku-buku modern, karena aku masih sangat mengagungkan kitab kuno Al Quran yang di dalamnya meliputi wawasan dan pengetahuan yang bersifat informatif. Ada sisi lain yang menjadi titik krusial atas semua pencapaian ini. Sisi yang tak akan pernah bisa dijangkau secara ilmiah. Yang tidak bisa dijangkau dengan logika. Doa, harapan, orientasi, afirmasi, dan keyakinan. Atau dengan kata lain, aku tak pernah memisahkan antara doa dan usaha, yang biasa disebut sebagai Ikhtiar.
Lebih dalam membahas tentang ikhtiar. Jangan pernah bermimpi untuk bisa mendapatkan uang 1 milyar, jika dalam mengelola uang sepuluh ribu saja masih banyak errornya. Mungkin diantara kita sudah tidak asing lagi dengan ungkapan, “Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.” Allah memberikan kita banyak opsi, dan yang Dia berikan adalah opsi yang tidak membebankan HambaNya. Bagaimana mungkin Allah memberikan amanah pada kita senilai 1 milyar, namun untuk mengelola uang sepuluh ribu saja masih sering teledor dalam memanfaatkannya.
Apakah kita sudah pantas memegang uang satu milyar yang kita inginkan itu tadi? Pantaskan diri terlebih dahulu dengan mengelola hal-hal yang kecil dan sederhana. Ya, sebuah hasil yang besar selalu dimulai dengan sebuah langkah kecil.
* * *
Di usia 16 tahunku dulu, aku pernah bermimpi untuk bisa mandiri secara finansial sebelum usiaku melewati angka 20. Yang meskipun pada saat itu aku belum tahu dan belum mendapatkan gambaran tentang bagaimana aku bisa mewujudkannya. Keep move on dengan keyakinan dan pemahaman yang kumiliki. Dan kini, janji 3 tahun lalu telah kupenuhi dengan tetap menjaga ikhtiar dan amanah yang Ia titipkan padaku.
Berani bermimpi itu, baik!