Penghuni Surga

Ibrahim Vatih
24 April 2012

Suatu ketika Nabi duduk di dalam masjid dan berbincang dengan sahabatnya. Tiba-tiba beliau bicara “Sebentar lagi seorang penghuni surga akan masuk ke mari.”

Semua mata tertuju pada pintu masuk masjid dan pikiran para sahabat membayangkan seorang yang luar biasa. “Penghuni surga, penghuni surga” demikian gumam mereka.

Beberapa saat kemudian masuklah seorang dengan air wudhu yang masih membasahi wajahnya dan dengan tangan menjinjing sepasang alas kaki. Apa yang membuat istimewa orang itu hingga mendapat jaminan masuk surga oleh nabi? Tak seorangpun berani bertanya walau sebenarnya para sahabat merindukan jawaban.

Keesokan harinya peristiwa itu terulang kembali. Ucapan Nabi dan ‘Si Penghuni Surga’ dengan keadaan yang sama semuanya terulang, bahkan pada hari ketiga pun terjadi hal yang demikian.

Abdullah ibnu ‘Amr sudah tak tahan. Maka timbullah suatu ide dalam benaknya. Dia mendatangi si penghuni surga sambil berkata “Saudara, telah terjadi salah paham antara aku dan orangtuaku, bolehkah aku menumpang di rumah kamu selama tiga hari?”

“Tentu, tentu” jawab Penghuni Surga.

Rupanya Abdullah bermaksud melihat secara langsung amalan Penghuni Surga.

Tiga hari tiga malam ia mengamati, bahkan memperhatikan dan mengintip Penghuni Surga, tetapi tidak ada yang istimewa. Tidak ada ibadah khusus, tidak ada sholat malam, tidak pula puasa sunnah.

Pada siang hari Penghuni Surga bekerja dengan tekun. Ia ke pasar sebagaimana semua orang melakukannya.

Pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan atau yang tak sempat kulihat, demikian pikir Abdullah.

Kemudian Abdullah mendatangi Penghuni Surga, dan menceritakan padanya kalau Nabi pernah mengatakan bahwa ia adalah calon penghuni surga.

“Apakah yang kamu perbuat hingga kamu mendapat jaminan surga oleh Nabi?” tanya Abdullah tanpa sabar.

“Apa yang kamu lihat, itulah saya.” jawab Penghuni Surga.

Dengan tampang kecewa Abdullah ingin kembali ke rumahnya, namun tiba-tiba ia dipanggil oleh Penghuni Surga.

“Apa yang kamu lihat itulah yang saya kerjakan, ditambah sedikit lagi yaitu saya tidak pernah merasa iri hati ketika ada orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. Tidak pernah pula saya melakukan perbuatan keji dalam setiap akfitas yang saya lakukan.”

Kisah di atas disadur dari kitab Faidh An Nubuwah. Petunjuknya demikian jelas, sehingga saya tak perlu memberikan komentar. Saya hanya berkata “Astaghfirullah…”