Hujan Kelam

Ibrahim Vatih
5 February 2013

Berdendang dan bercerita. Bima mengunjungi Kyai Sepuh. Bima ingin ngobrol santai sambil cari angin, tidak fokus pada satu masalah, ke mana angin bertiup (namanya saja cari angin). Bima membawa payung sebelum hujan, siapa tahu di jalanan gerimis, nanti Bima bisa berteriak, “Langit bocor… bocor…”

“Hujan bikin susah. Got mampet, air menggenangi jalan. Banjir di kota, banjir sampah di pantai. Alam tidak bersahabat,” kata Bima sambil menaruh payung.

Kyai Sepuh tidak menoleh, “Kalau alam bukan dijadikan sahabat, tinggalkan saja alam semesta ini. Jika nyasar di neraka, suap penjaga surga, peluk bidadari di sana. Gampang, kan?” Bima kaget, kok Kyai jadi serius.

“Hujan ini berkah, alam sangat bersahabat,” ujar Kyai. Ia mulai menatap Bima. “Ketika air di pegunungan dialirkan ke kota untuk keperluan hotel, adakah petani mengeluh? Ketika pengusaha air minum kemasan ikut menyumpal mata air, adakah petani gelisah? Ketika air danau disedot untuk menyiram rumput lapangan golf, apakah petani kecewa? Semua kepedihan petani itu pasti ada, tetapi disimpan. Media massa tak tertarik memberitakan. Kini ribuan petani berdoa kepada Penguasa Semesta agar diturunkan hujan, orang-orang kota mengeluh kebanjiran. Gubernur dan presiden kelabakan. Di musim kering, tak ada gubernur dan presiden yang mendekati petani, menanyakan apa yang mereka keluhkan. Pada saat sawah mulai digenangi air dan petani tersenyum, alam malah disalahkan. Dasar tamak.”

Tak biasanya Kyai menghujat. Bima lebih baik diam. “Sawah mulai hilang di pegunungan, sudah dijual kepada orang kota yang kemudian membangun vila. Petani merambah hutan mencari kayu bakar, berlomba dengan proyek pemerintah yang mengebor bukit mencari gas. Hutan gundul, tak ada pepohonan yang menampung air. Sungai kebanjiran membawa ranting, menghanyutkannya ke laut, dan ranting terdampar di pantai sebagai sampah.” Kyai berhenti sejenak, lalu bertanya dengan nada ramah: “Kita masih punya Menteri Lingkungan Hidup? Siapa, ya?”

“Sepertinya masih ada, Kyai,” kata Bima. “Tapi Bima lupa namanya. Banyak sekali menteri yang Bima lupakan, jarang terdengar sih. Yang Bima ingat hanya Menteri Olahraga. Itu pun gara-gara dia mengaku terus terang tidak mengerti sama sekali soal olahraga, tak pernah pula berolahraga meskipun cuma senam. Tetapi dia dipilih juga sebagai Menteri Olahraga. Apa enggak hebat yang memilihnya?”

“Ya, kita punya banyak orang hebat,” kata Kyai, yang mulai cerah wajahnya. “Ada tokoh yang dulu berbuih-buih mengatakan tak akan mendirikan partai. Yang didirikan hanya organisasi massa untuk mengadakan perubahan di negeri ini. Lalu, ada orang yang mendirikan partai, namanya persis dengan nama ormas yang tadi. Sang tokoh berkukuh, ormas lain, partai lain, nama boleh saja sama. Tapi, setelah partai lolos menjadi peserta pemilu, eh, sang tokoh mengambil alih jabatan ketua umum partai. Tanpa pemilihan, hanya penetapan, meniru Yogya yang istimewa. Hebat luar biasa.”

“Yang hebat tokoh itu?” tanya Bima. Kyai menjawab: “Bukan, yang hebat orang-orang yang masih percaya pada sang tokoh. Yang lebih hebat lagi pemerintah yang membiarkan televisi menyiarkan pengukuhan itu berjam-jam.”

“Kyai,” Bima menyela. “Itu kan stasiun televisi milik dia, ya mau-mau dia. Mau menayangkan setan gundul, mau menayangkan keluarganya, mau apa saja, terserah dia dong.” Kyai kembali berwajah garang. “Betul milik dia, tapi frekuensi yang dipakai milik rakyat. Dan itu terbatas. Kenapa yang terbatas itu dipakai untuk kelompok kecil?”

Hujan dari langit mulai rintik-rintik. Kyai Sepuh terus saja bicara dengan suaranya yang khas, “Sempat mengikuti kisruh sapi dan pajak keluarga presiden?”

Obrolan terus berlanjut seiring dengan makin kelamnya awan di langit. Instrumen nada di negeri nusantara, selalu memberi sajian menarik dan asik, apalagi jika ditemani susu hangat di sela rintik hujan serta aroma tanah yang segar.