Tahun Pertama Pernikahan

Ibrahim Vatih
5 May 2018

Setiap orang punya target sekaligus ujiannya masing-masing di setiap jenjang. Baik itu yang bujang, sudah menikah tapi belum punya anak, sudah menikah dan punya anak, dan seterusnya. Saya sedang bicara konteks marital (perkawinan) ya.

Orang yang bujang targetnya adalah ingin menikah, dan (salah satu) ujiannya adalah bersabar menahan hubungan biologis sampai waktunya tiba.

Orang yang udah menikah targetnya adalah memiliki keturunan, ujiannya adalah bersabar ketika momongan belum juga datang.

Pria yang udah punya 1 istri, ingin punya istri lagi. Ujiannya macem-macem. Ngga semua pria begini, tapi kebanyakan ya begini XD

Orang yang bujang ingin menikah tapi khawatir nanti kalau berumah tangga akan begini dan begitu, padahal setelah dijalani ngga sebegitunya juga. Meski ya ada aja kasus-kasus yang begini dan begitu.

Well, sebagai orang yang alhamdulillah sudah Allah berikan amanah sebagai suami selama kurang lebih 6 tahun, dengan titipan 2 orang anak, berkenalan dengan banyak keluarga dari pasangan usia muda, juga melihat pola-pola yang ada, saya mau berbagi pengalaman saya yang seuprit ini tentang apa saja yang mesti dilakukan di tahun pertama pernikahan.

***

Saya menulis ini karena beberapa bulan yang lalu diminta sama temen saya Wahyu Awaludin untuk menulis tentang ini, sekaligus satu per satu santri-santri saya yang mulai melepas status bujangnya.

Saya akan menulis ini dari sudut pandang seorang laki-laki ya. Karena menurut saya ini sudah cukup dan bisa dipelajari juga oleh para wanita yang membaca tulisan ini.

Semoga apa yang saya tulis ini bisa jadi gambaran bagi kamu para bujang dan keluarga muda untuk senantiasa mendapatkan sakinah (ketentraman) dalam rumah tangga.

Penuh Konflik

Ini adalah hal yang sangat wajar terjadi. Masa yang penuh kebahagiaan adalah 1 sampai 2 bulan pertama, pacaran di siang hari, bercumbu di malam hari. Hmm, index of happiness-nya tinggi pokoknya selama 1 sampai 2 bulan pertama.

Selanjutnya adalah masa-masa kembali pada kenyataan hidup, di mana pasutri harus melalui fase berkenalan dengan karakter lawan jenis secara umum, dan karakter pasangan secara khusus.

Ngga bisa dipungkiri, ini adalah fase pertama yang begitu menguras hati. Proses menguras hati ini ngga peduli apakah kamu orang yang berkecukupan dalam harta atau kurang, apakah kamu seorang yang sholeh-sholehah atau minim wawasan, apakah kamu orang yang berprestasi dalam banyak hal atau bukan. Ngga bisa ngga.

Saling diam, saling membelakangi, saling buang muka. Ada yang hitungan jam, ada juga yang hitungan hari. Urusan yang super sepele bisa menjadi besar. Yang logis menjadi ngga logis. Itulah, entah kenapa begitu. Pokok’e maknyus..

Laki-laki Harus Banyak Berkorban

Ada banyak pasangan yang menghabiskan jatah konfliknya di tahun pertama, ada juga yang konflik terus-menerus berkelanjutan sampai bertahun-tahun (ini parah).

Tips supaya hari-hari penuh konflik bisa selesai di tahun pertama adalah kamu, suami, harus lebih banyak diam. Diam yang elegan, bukan karena diam tidak mampu.

Korbankan waktu, perasaan, dan pikiran untuk rumah tangga kamu (istri maksudnya). Harus selalu bilang “ok” ke istri, apapun yang dia mau. Jangan pernah bilang “ngga”. Kalau kamu lagi ngga mau menuruti permintaan istri, jangan bilang “ngga”, pilihan yang tepat adalah diam.

Di tahun pertama, kamu akan sulit mendapatkan hak-hak kamu sebagai suami. Mengambil kebijakan adalah hak mutlak suami, selama bukan kemaksiatan maka istri ngga punya pilihan selain ikut suami, tapi faktanya ngga begitu.

Istri tetaplah manusia, sebagus apapun wawasannya terhadap Islam, seluas apapun pemahamannya terhadap hak dan kewajiban suami istri, dia tetaplah manusia. Dia “ngga akan peduli” dengan dalil-dalil dan ajaran dalam Islam.

Tunjukkan Pada Istri Bahwa Kamu Bisa

Semua manusia ketika diberikan bukti, akan muncul rasa respek dan yakin. Begitu juga istri kita. Dia akan semakin sami’na wa atho’na (sendiko dhawuh) ketika dia sendiri menyimpulkan bahwa suaminya adalah orang yang punya pegangan dan berprinsip, sehingga berbagai kebijakan yang diambil senantiasa mendatangkan kebaikan dan bertujuan baik, apapun hasilnya.

Di hadapan istri, kamu ngga harus bisa di semua aspek. Ngga usah banyak-banyak, menurut saya 3 aspek saja udah cukup. Jadilah unggul di 3 poin dari aspek-aspek ini:

  1. Komunikasi
  2. Kerjasama
  3. Ibadah wajib
  4. Ibadah sunnah
  5. Sosial masyarakat
  6. Mengelola waktu
  7. Berprestasi (duniawi)
  8. Dst

Sehingga muncul rasa respek dari istri kepada diri kita. Biarkan kita punya kekurangan lainnya sambil tetap disempurnakan, tapi jangan sampai kita ngga punya keistimewaan sama sekali.

Bikin Program

Sebenarnya ini opsional di tahun pertama, tapi nanti harus ada di tahun-tahun berikutnya.

Jangan dikira keluarga akan bisa bagus dengan sendirinya. Untuk bisa menjadi bagus ya harus didesain, dirancang, direncanakan. Salah satu bentuk perencanaan itu adalah dengan membuat program pekanan, saya pernah bahas terkait hal ini di Program Kegiatan Keluarga.

Tapi dalam membuat program ini juga mesti disesuaikan dengan kondisi. Kamu sebagai suami, sebagai pemimpin, sebagai imam, harus bijak dalam menyusun program, jangan terlalu idealis, tapi harus lebih realis. Baca tulisan saya yang ini, Idealisme Pada Tempatnya.

Apa yang Bikin Istri Bahagia?

Saya pakai kata bahagia, karena kayaknya kata ini punya makna 1 level di atas kata senang.

Kamu harus tau apa saja hal-hal yang membuat istri kamu menjadi bahagia. Saya pernah dinasehati sama eyang untuk senantiasa rutin ajakin istri ke pasar. “Perempuan itu seneng banget diajak ke pasar.”

Dan emang iya, istri saya bahagia kalau belanja sendiri, pilih sendiri, tawar sendiri, ngga diganggu sama anak-anak.

Tipsnya bisa 2 macam:

  1. Titipkan anak-anak ke mbahnya.
  2. Pas ke pasar, anak-anak diemong sama ayahnya.

Intinya istri bisa leluasa ngapa-ngapain tanpa beban, itu salah satu bentuk kebahagiaan buat dia.

Silahkan dicari lagi apa hal-hal yang membuat istri kamu senang sekali alias bahagia. Diajak traveling misalnya.

Lakukan kebahagiaan ini secara rutin. Kalau yang cost-nya besar ya setiap 4 atau 5 bulan sekali. Kalau yang cost-nya kecil bisa dilakukan setiap 2 pekan atau setiap bulan, terserah.

Dengan melakukan ini, istri merasa diperhatikan. Kuncinya, ketika melakukan kebahagiaan ini kamu juga harus total, jangan sambil main HP, fokus ke hal lain, dll.

Istri Butuh Waktu Mempelajari Pola

Mayoritas perempuan itu logikanya lebih lemah dari laki-laki, dia ngga akan bisa dengan cepat membaca pola. Kalaupun udah bisa ngebaca pola, dia tetap akan mendahulukan perasaan ketimbang logikanya.

Dia sudah tahu harus melakukan apa, tapi dia tidak langsung melakukannya karena mendahulukan perasaan itu tadi.

Sesuatu yang belum terbiasa itu butuh dilatih. Bisa karena biasa. Kamu harus bantu dia melatih hal-hal tersebut.

Misal, kalau lagi ada sesuatu yang error terjadi dan disebabkan oleh suami, istri pasti marah ke suami, tapi ngga selalu begitu untuk sebaliknya.

Suami mikirnya sederhana, “Udah terjadi, ya sabar, mau marah-marah juga ngga akan menyelesaikan masalah, cukup dijadikan pelajaran supaya ngga terulang lagi.” Istri ngga begitu, istri harus ada yang bisa dilampiaskan.

Ketika istri melampiaskan itu, kita diam saja, sampaikan satu-dua kalimat yang tegas, setelah itu diam. Itu adalah diam yang tegas, bukan diam yang lembek seperti membiarkan sesuatu.

Setelah itu istri akan mikir.

Repeat.

Hal-hal semacam itu akan berulang terus, kamu juga cukup lakukan yang serupa. Sampai pada titik di mana cara istri melampiaskan hal-hal itu semakin berkurang, semakin berkurang, semakin berkurang. Di sini istri udah bisa bersikap dengan lebih bijak.

Biasanya butuh waktu 1 sampai 2 tahun untuk bisa mendidik istri menjadi bijak untuk bab ini saja. Masih banyak bab lain yang kamu harus juga lakukan untuk mendidik istri kamu menjadi lebih baik.

Berdoa Pada Allah

Kalau saya pribadi punya doa wajib yang selalu ada dan dibaca selesai sholat, doa yang udah familiar juga di masyarakat, robbanaa hablana min azwaajina dst.

Berdo’a ini sambil membayangkan istri dan anak-anak untuk senantiasa dijaga dan diupgrade oleh Allah menjadi individu-individu yang semakin sholeh dan sholehah sehingga pantas untuk waj’alna lil-muttaqiina imaama, menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.

Merutinkan kebiasaan zikir pagi-petang di keluarga juga menjadi sangat penting supaya ruhiyah (spiritual) tetap terjaga dan bersih, sehingga berimbas pada jasad (fisik) yang juga terkontrol (khairunnaas).

Menyamakan Frekuensi

Kamu dan pasangan berasal dari latar belakang yang bisa dibilang sangat berbeda. Ada banyak hal-hal yang tidak selaras di tahun pertama pernikahan. Proses menyamakan frekuensi ini menjadi salah satu ujian yang harus kamu selesaikan.

Pertengkaran seringkali muncul karena masalah frekuensi yang belum ketemu ini.

Salah satu cara yang bisa kamu lakukan untuk menyamakan frekuensi adalah ajak istri ke sebuah seminar bertemakan family, parenting, dan sejenisnya. Dengan begini, kamu ngga perlu repot-repot menjelaskan apa saja yang musti jadi hak dan tanggung jawab masing-masing pasangan, dan kiat-kiat yang bisa dilakukan ketika menghadapi polemik.

Disamping kamu juga bisa banyak belajar hal-hal baru di forum tersebut.

Ada baiknya juga hadir di seminar bertemakan di atas yang dibalut dengan nuansa spiritual keislaman, sehingga makin klop dan sejalan dengan visi misi keluarga yang akan kamu jalani sebagai keluarga muslim yang bermanfaat untuk banyak orang.

Hindari mengirimkan link melalui WA atau FB, percayalah ini cara yang ngga bagus meski maksud kamu menasihati.

Kesimpulan

Ngga usah panjang-panjang, kamu (suami) baru akan benar-benar menjadi qowwam (pemimpin) setelah masuk di tahun kedua atau ketiga. Di tahun ini (kedua, dst)  konflik-konflik kecil akan tetap ada tapi tidak menyita banyak porsi waktu, tenaga, dan pikiran sebagaimana yang terjadi di tahun pertama.