Dunia Untuk Dikuasai, Bukan Dicintai

Ibrahim Vatih
19 October 2011

Sebab, Islam bukan ajaran yang bersifat dikotom. Dimana untuk meraih ridho Tuhan harus bersikap anti-dunia dan melulu mengisi waktu dengan ibadah ritual semata.

Justru Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk tampil ke gelanggang, mengatur dunia (menguasai) dengan berpedoman dan berprinsip pada aturan main Tuhan (syariah). Seperti itulah Rasulullah beserta para sahabatnya.

Seperti kita ketahui dalam sejarah peradaban Islam, hampir semua sektor kehidupan dikuasai oleh umat Islam. Sebut saja sektor ekonomi, yang kini menjadi sektor utama dalam kehidupan kita. Beberapa saat setibanya di Kota Madinah, Abdurrahman bin Auf langsung menuju pasar dan berniaga di dalamnya. Dan dalam tempo yang tidak begitu lama, ia telah menguasai pasa Madinah yang sebelumnya dikuasai oleh Yahudi. Artinya, dengan spirit Iman, ia mampu menguasai sektor ekonomi dengan cara yang cerdas, yang berujung ia bisa berkontribusi harta dalam perjuangan Fii Sabilillah.

Akhirnya, Abdurrahman bin Auf menjadi saudagar yang sangat kaya pada zamannya. Sampai-sampai ia bernah berinfak kepada umat Islam sekitar tujuh ratus ekor unta beserta seluruh muatannya.

Namun, Abdurrahman bin Auf tidak seperti Tsa’labah, yang menjadi kufur karena dunia. Awalnya Tsa’labah hidup miskin, kemudian sukses dengan usaha ternak kambingnya, setelahnya ia menjadi angkuh dan sombong karena kekayaannya. Bahkan ia berani menolak untuk membayar zakat.

Beberapa abad sebelum masa Abdurrahman bin Auf, di zaman nabi Musa, hidup seorang saudagar yang sangat kaya raya, Qarun namanya. Kunci gudang harta kekayaannya saja (konon) perlu menggunakan unta untuk mengangkatnya. Tetapi Qarun bukanlah saudagar yang beriman, ia angkuh dan sombong. Maka, ketika ia berbuat seperti itu dan menolak mengakui kebesaran Allah dan mengklaim bahwa seluruh hartanya itu adalah hasil dari jerih payahnya selama ini. Allah menenggelamkan Qarun ke perut bumi beserta kekayaannya.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi..” (QS 28 ayat 27)

Jadi, Muslim yang baik adalah yang mampu menguasai dunia untuk diri, keluarga, dan ummat. Lihatlah bagaimana Rasulullah juga ahli dalam dunia bisnis dan niaga. Juga perhatikanlah bagaimana Sayyidina Ali dalam perang, namun juga paling tekun dalam beribadah.

Perhatikan pula bagaimana para nabi yang lain juga ahli dalam bidang keduniaan. Nabi Nuh ahli perkapalan, Nabi Musa ahli peternakan, Nabi Isa ahli pengobatan, serta nabi Yusuf ahli perekonomian. Semua ini menunjukkan bahwa umat Islam harus unggul di segala bidang dengan tetap menjadikan akhirt sebagai orientasi utama, bukan dunia yang diutamakan. Apalagi dikuasai untuk dicintai.