Hidup Untuk Berusaha & Berkarya

Ibrahim Vatih
17 February 2011

Beberapa tahun lalu melancong ratusan kilometer meninggalkan kampung halaman dan mendaratkan diri di sebuah kota Pahlawan. Surabaya. Kota yang kini semakin penuh sesak dan semakin berantakan oleh para pendatang. Kota nyamuk. Kota polusi. Julukan yang saya sematkan dibalik sebutannya sebagai Kota Pahlawan.

Memperdalam ilmu Qur’an sambil menikmati selingan ilmu Lughatul ‘Arabiyah. Berkumpul dengan orang-orang yang sudah tidak pas jika dikatakan anak-anak. Berkumpul dengan orang-orang yang menggunakan bahasa-bahasa tinggi dalam setiap pembicaraan.

Di tempat inilah mulai mengenal tentang perbedaan dalam Fikroh. Di tempat ini pula mulai mempelajari dan memperhatikan tentang karakteristik masing-masing jama’ah dakwah. Dengan ciri khasnya masing-masing.

Metode menghafal mulai diracik di sini.
Berbagai macam orang dengan kompetensi dan kemampuan menghafalnya yang beraneka macam. Mulai dari yang mbulet hingga yang dahsyat, menjadikan tempat ini sebagai lahan yang cocok untuk developing diri sendiri, mencoba mengambil saripati yang bisa ditemukan dari berbagai sumber di sekitar.

Dan selayaknya kehidupan pesantren, maka problematika seputar itu tak akan berubah sejak jaman mbaheula hingga akhir nanti. Mulai dari pencurian, perkelahian, kabur, penganiayaan hingga homoseksual. Complicated. Seperti sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa memang seperti itulah kehidupan yang harus siap dihadapi dalam penjara suci.

Jangan harap bisa nyaman menggunakan barang-barang pribadi. Tak ada istilah barang pribadi dalam pesantren. Milikmu, milikku, milik bersama, berjama’ah. Jangan bersikukuh kalau tak ingin dicap sebagai orang egois dan pelit. Ya, tentu ada perkecualian untuk barang-barang tertentu.

Rasa peka terhadap kehidupan sosial sangat sensitif di sini. Ketika datang seorang teman yang meminta bantuan, maka tak ada alasan untuk menghindar. Dan waktu berharga itu akan terbuang untuk kepentingan orang lain. Meski saat sedang tidur sekalipun. Jangan dulu mempertimbangkan nilai pahala, karena rasa yang didapatkan benar-benar berbeda.

Akan ada ujian tiap semesternya. Maju satu per satu untuk dites hafalannya secara acak. Guru membacakan potongan ayat, dan tersangka harus melanjutkan bacaan tersebut hingga guru memberikan isyarat berhenti. Biasanya akan ada 3 soal.

Sesuatu yang sangat sulit saya terima bahwa saya adalah orang yang tak pernah lulus dalam setiap ujian semester, hingga saya keluar dari tempat itu. Percayalah. Sebuah kenyataan pahit yang harus disampaikan pada orangtua setiap kali pulang ke rumah selepas ujian. Bukan karena saya tidak lancar dengan soal yang bacakan. Terbukti setiap dites oleh teman diluar ujian itu, saya selalu bisa menjawab 90%. Hanya saja pikiran saya selalu menghilang setiap kali saya dihadapkan pada sebuah majelis yang mana saya ditempatkan pada pusat perhatian dari majelis tersebut. Bahasa sederhananya adalah grogi. Keringat dingin bercucuran dan otak serasa berhenti bekerja. Betapa rasa malu selalu menyelimuti setiap kali selesai ujian.

Suatu episode yang kemudian membuat saya terlecut untuk bisa merubah semua itu. Membuang jauh-jauh perasaan canggung.

Bersyukur bahwa usaha saya mulai menemukan hasil. Beberapa tahun belakangan saya mulai berani untuk tampil menjadi imam pada jama’ah sholat. Mulai dari lima waktu, tahajjud, dhuha, hingga tarawih. Sudah pernah saya rasakan meski diawali dengan ketidakstabilan batin.

Teringat ketika terakhir kali menjadi imam tarawih di salah satu masjid di Jogjakarta. Masjid Mardhiyah. Sebuah masjid yang juga saya jadikan tempat i’tikaf di sepuluh hari terakhir. Mendadak diminta oleh teman panitia untuk menjadi imam tarawih. Dan menyanggupi dengan tenang hati.

Keesokan harinya dipanggil oleh salah seorang panitia. Hanif. Pria berkacamata dan berbadan mungil itu menghampiri saya yang sedang duduk di serambi sambil membaca buku. Dia mengatakan bahwa ada seseorang yang mencari saya, sedang menunggu di dekat pintu utama masjid.

“Mas, yang kemarin jadi imam tarawih yaa?”

Pria paruh baya itu terlihat sangat berkharisma, bertanya pada saya sambil menyunggingkan senyum hangatnya.

“Suara mas bagus..”
“Bacaannya terdengar nyaman..”

Dan saya tetap mematung sambil tetap tersenyum di hadapannya. Berpikir ada perlu apa seorang laki-laki paruh baya dengan penampilan borjuis ini datang dan menemui saya?

“Oh, maaf, perkenalkan, saya Eko, tinggal di Umbulharjo.”
Sambil menyodorkan sebuah kartu nama, yang kemudian saya terima dan langsung saya baca seksama.

Seorang dokter bedah spesialis. Dinas di sebuah Rumah Sakit yang terletak tak jauh dari masjid ini. RS Sardjito.

Inti dari pertemuan kala itu adalah bahwa dr. Eko meminta saya untuk menjadi seorang yang tinggal di rumahnya, yang setiap waktu sholat menjadi imam bagi keluarganya, sekaligus mengajari ilmu quran kepada dirinya, istri sekaligus tiga orang anak-anaknya.

Biaya hidup ditanggung, fasilitas disediakan, dan gaji tetap bersih. Perfect!

Dan saya sukses menolak tawaran itu dengan senyum mengembang. Karena, bukan itu tujuan saya menetap di Jogja. Ada hal lain yang harus saya kejar terkait cita-cita dan harapan saya, juga orangtua dan keluarga.

Saya sadar dengan sangat bahwa membantu orang adalah perbuatan mulia, apalagi ini terkait dengan ilmu yang alhamdulillah saya sedikit menguasai. Melepaskannya begitu saja juga bukan karena tak ada keinginan untuk membantu mereka. Lebih karena prioritas hidup dan menjalankan istiqomah sekuat mungkin.

“Iya mas, ngga apa-apa, mungkin memang belum saatnya.”

Sambil berbincang basa-basi penutup, dr. Eko berdiri dan berjalan keluar masjid sambil saya ikuti di sampingnya.

“Saya masih ada agenda mas Fatih.”

“Oh iya, kalau mas Fatih berubah pikiran, saya masih sangat berharap pembicaraan kita tadi terealisasi.”

“Main-mainlah ke rumah saya, kalau ada waktu.”

Dan kisah itu selesai seiring perginya dr. Eko bersama mobil Avanza silvernya.

Ada berbagai jalan untuk bisa memberikan yang terbaik. Bahkan bersabar itu tetap diperlukan meski ada embel-embel membantu orang lain. Jika memang belum saatnya maka tak perlulah dipaksakan meski terlihat ada beberapa peluang yang menggiurkan.

Memaksakan hal yang belum mampu dimaksimalkan dengan baik memang tidak akan pernah bisa maksimal. Kalau ada yang mengatakan bahwa semua dimulai dengan ketidaksempurnaan. Ya, benar. Tapi jangan lupakan bahwa sarana yang kita gunakan untuk menuai kesuksesan juga sangat mempengaruhi kita untuk bisa mendapatkan kesuksesan itu sendiri.