Idealisme Pada Tempatnya

Ibrahim Vatih
27 June 2017

Pernah dalam suatu acara internet marketing di Yogyakarta, pas lagi sesi break sholat maghrib, seorang anak muda (kayaknya usianya belum 25 tahun) inisiatif ambil posisi jadi imam. Sebut saja namanya Budi Berseri.

Saya reflek aja memperhatikan simat (penampilannya) yang kasual tapi Islami. Semoga ngerti ya, saya sengaja ngga mau spesifik tentang ini. Yang saya menyimpulkan bahwa orang ini adalah orang yang semangat-giat menuntut ilmu dien dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari (dan itu bagus).

Sebagaimana yang sudah-sudah, muncul rasa penasaran; bagaimana cara dia mengamalkan ilmu yang sudah dia dapat?

Ketika Budi Berseri baca Al Fatihah, simatnya semakin nampak dan semakin kuat; agamis. Overall tajwidnya oke tapi masih kaku di banyak huruf.

Penasaran saya terjawab ketika ia membaca surat setelah Fatihah. Dia baca An-Naba’ dari awal sampai akhir di roka’at pertama.

Di bagian membaca surat panjang inilah yang perlu untuk “dikoreksi”. Dia melakukannya bukan di tempat yang “tepat”.

Para makmum yang lain adalah orang-orang yang ammah (awam), dengan celana jeans belel, kaos aneka warna, dan gerakan sholatnya yang “kurang lemes”. Terus diminta “sabar” untuk menunggu ruku’ dengan durasi yang (kemungkinan besar) ngga biasanya dilakukan/dialami oleh para makmum.

Hal-hal semacam inilah yang mau jadi pembahasan saya di catatan opini kali ini.

***

Saya sering menjumpai hal-hal semacam ini dalam kehidupan sehari-hari. Rasanya awkward banget. Gimana ngga awkward kan. Yang mereka lakukan itu tidak salah, tapi kalau dibiarkan juga bisa jadi sesuatu yang berakhir dengan tidak happy ending.

Anggaplah kasus Budi Berseri tadi, saya kok cenderung yakin ada salah satu jamaah yang nggrundel mengatakan dalam hatinya; ini imam bacanya panjang banget sih. Sesuatu yang ngga happy di akhirnya.

Yang satu rumpun dengan Budi Berseri ini ada buanyak (yang mempraktekkan idealisme pribadi di ranah publik).

Saya juga punya teman dulu di pesantren di Surabaya. Dia kalau imam itu ruku’nya lama, sujudnya lama, tasyahudnya lama, dan seterusnya.

Saya pernah sedikit menyinggung tentang idealisme pribadi dan bagaimana penerapannya yang (menurut saya) tepat di posting ini.

Pentingnya Idealisme

Bukan berarti punya idealisme itu salah. Justru orang akan menjadi rawan ketika ngga punya idealisme dalam hidup. Orang-orang yang sukses dan akhirnya jadi orang besar itu mereka punya prinsip, nilai, rumus, dan pedoman ketika menjalani berbagai episode dalam kehidupan mereka.

Jadi saya mau tetap tegaskan bahwa idealisme itu harus ada dalam pribadi setiap orang. Cuma perlu diatur supaya idealisme versi kita tidak berbenturan dengan idealisme versi orang lain.

Contohnya tentang sholat tadi. Saya punya standar ideal sholat yang bagus yang saya pahami adalah begini dan begitu. Nah orang lain juga punya standar idealnya sendiri. Hal-hal begini rawan jadi bahan untuk gesekan.

Idealisme Bertingkat

Sebenernya ini ngga perlu saya tulis, karena ini akan secara otomatis akan kamu ketahui setelah kamu ketemu sama masalah-masalah yang sumber awalnya dari idealisme pribadi yang di bawa ke ranah publik.

Dan saya yakin, sebagian dari kamu udah bisa menjadikan ini sebagai bagian dari pola hidup. Seiring dengan semakin dewasanya usia seseorang, pengalaman jam terbang, sampai luasnya teritori yang pernah dijelajahi, biasanya semakin ketemu sama hal-hal begini.

Saya cuma mau tulis aja untuk kamu yang belum ngeh, masih kurang piknik, atau pribadi baru semangat menggali hal-hal menarik.

RUMUS: Pegang teguh prinsip idealisme kamu ketika kamu sedang berada dalam kesendirian (munfarid) atau berada dalam lingkaran orang-orang yang satu frekuensi dengan idealisme kamu.

Dan kembalikan atau kendurkan idealisme kamu ketika kamu sedang berada di ruang publik. Kamu harus bisa melihat pola bagaimana sistem di ruang publik berjalan. Kalau di dunia Fiqh namanya Al ‘Urf.

Jangan Buat Orang Lain Ilfil

Idealisme yang tidak pada tempatnya akan membuat orang lain mempunyai pandangan yang beragam terhadap diri kamu.

Yang bisa memahami dan memaklumi “kekeliruan” kamu itu jumlahnya tidak banyak, mereka cuma sedikit sekali. Mereka bisa tahu kenapa kamu “seperti itu” pada kondisi-kondisi tertentu, karena mereka pernah ada pada kondisi yang sama dengan kamu sekarang.

Tapi sayangnya jumlah mereka (yang bisa memahami) itu sedikit. Sangat tidak sebanding dengan mereka yang kamu “kecewakan” dengan cara kamu yang “seperti itu”. Yang kalau tidak segera kamu sadari dan benahi, akan semakin banyak orang yang mengambil jarak dengan kamu.

Karena kamu menjadikan mereka merasa ilfil, merasa ngga nyaman, merasa bahwa kamu ngga bagus untuk didekati.

***

Pas sampai sini, saya udah agak ngantuk, jadi saya sudahi dulu nulisnya. Saya pikir tulisan ini juga sudah bisa dipahami lah ya. Semoga bisa dijadikan bahan tafakur bersama.