Just About Nasi Goreng

Ibrahim Vatih
29 March 2013

Bagi yang punya masalah soal lambung, mi instan tidak dianjurkan. Kalau tak ada lauk dan sendirian di rumah, masaklah nasi goreng. Sama mudahnya. Tuangkan sedikit minyak di kuali, cemplungkan nasi putih secukupnya, taburkan bumbu nasi goreng. Bumbu ini beragam rasa dan merek, mudah diperoleh di pasar. Lumayan maknyus.

Tapi lagi-lagi teman yang ahli kesehatan bilang, jangan terlalu sering, karena bumbu itu penuh pengawet. Membuat nasi goreng yang sehat, racik sendiri bumbunya. Minyak nonkolesterol, bumbu dan nasinya (maksudnya beras) organik. Rumit amat, harus bertanya ke pasar apakah bawang merah yang dijual itu pakai pupuk kandang atau urea.

Horeee… Ada yang akan jualan nasi goreng. Pak SBY, kalau sudah pensiun. Ini betul-betul Susilo Bambang Yudhoyono, presiden kita. Saya wajib mempertegas hal ini karena di Mojosari (Jawa Timur) ada Warung SBY yang di bawahnya ada tulisan kecil “Sosro Bapakne Yoso”.

Karena ini cita-cita belum final dari SBY–ada yang lain, seperti menanam cabai–saya berharap terwujud. Saya membayangkan Ibu Ani memasak nasi goreng itu, lalu Pak SBY membawakannya untuk saya yang memesan. Setelah itu, saya ke kasir yang dijaga menantunya, Anisa Pohan. Negeri yang indah, bersahaja, dan apa adanya. Presiden kembali menjadi rakyat biasa yang sehat jasmani dan rohani–dan bermartabat serta mulia. Bukan mantan presiden yang menghilang dari Tanah Air karena kecewa. Bukan (amit-amit) yang jadi tahanan kota, apalagi yang menghuni bui. Juga bukan mantan presiden yang selalu merecoki pemerintah, apa pun dikritik.

“Waroeng Nasikeas”, begitulah nama restoran yang saya usulkan. Artinya, saya ingin Pak SBY tetap tinggal di Puri Cikeas dan menolak pemberian (yang konstitusional) dari pemerintah berupa rumah mewah, yang jadi hak seorang mantan presiden. Masih banyak orang yang tinggal di rumah kumuh. Lanjutkan prihatin dan tegas menolak: “Maaf, saya tak menerima hadiah rumah itu. Saya kembalikan untuk negara.” Memang, sejumlah politikus akan menuduh Pak SBY mendulang citra. Tapi percayalah, politikus itu asal ngomong. Mereka memang gemar memutar-balikkan fakta dan tak punya malu. Yang tak ada diada-adakan. Di kepalanya hanya ada Century, itu pun bukan dengan maksud menyelesaikan kasus, melainkan untuk menembak satu atau dua orang.

Tentu, sebagai juragan Nasi Goreng Cikeas alias “Nasikeas”, saya harap Pak SBY tetap mau berpidato di berbagai seminar. Bukan sekadar membagi ilmu dan urun rembuk masalah berbangsa, tapi juga memberi contoh kepada pemimpin yang lain bagaimana intonasi suara dan gerak tangan itu serasi. Saya harus memuji Pak SBY di podium dibanding pemimpin lain yang gerak tangannya ke mana-mana, tak seirama dengan yang diucapkan. Penampilan itu penting untuk seorang figur publik, ada kursusnya. Pemimpin jangan terlalu formal (belakangan saya lihat Pak SBY semakin formal), tapi juga jangan cengengesan seperti lakon Petruk Dadi Ratu (di Bali: Jerodeh Jumeneng Natha).

Akhir tugas seorang presiden–saya kira tugas di mana pun–akan menjadi kebahagiaan jika jabatan yang kita emban itu tidak membuat sulit penerus kita. Bahkan justru melapangkan tugas pengganti. Karenanya, jangan mengambil kesempatan buruk pada akhir-akhir masa jabatan, jangan menerapkan aji mumpung, jangan berpikir masa bodoh karena tahu tak lagi memimpin. Tetaplah bekerja keras seolah-olah jabatan itu tak pernah hilang, dan jualan nasi goreng itu menjadi simbol dari tak adanya post-power syndrome. Bersatulah penjual nasi goreng se-Indonesia karena kalian orang bermartabat.