Mencari Aman?

Ibrahim Vatih
9 July 2013

Tidak ada yang aman di internet, sekalipun itu dikemas dengan profesionalitas seperti Google, Yahoo, Facebook, dan lainnya. Yang dalam Privacy Policy-nya mengatakan; kerahasiaan kamu adalah yang utama.

Logikanya sih, kita browsing pakai Firefox yang notabene organisasi nirlaba. Untuk sebagian orang dalam lingkup tertentu akan tahu, bahwa dibalik label “nirlaba” selalu menyimpan sebuah misi yang besar. Atau Chrome yang dikomandoi oleh Google, raksasa perusahaan yang mencengkram dunia maya.

Semua data-data pribadi kita terbaca oleh mereka, atau perlu saya beri tanda petik supaya lebih mempertegas? Ya, “mereka”. Mulai dari kartu kredit, email, password. Percakapan yang orang tua atau bahkan pasangan kita tidak tahu, mereka bisa tahu. Jangankan yang seperti itu, sesuatu yang sepertinya hanya kita dan tuhan yang tahu-pun mereka tahu! This is madness!

Dalam suatu kesempatan, seperti yang kita tahu, Edward Snowden di wawancarai oleh wartawan bernama Glenn Greenwald sama Ewen MacAskill. Khalayak menyebutnya sebagai wishtleblower. Nah, sebelum saya lanjutkan tentang “tidak ada yang aman di internet”, kita sedikit mlipir bahas whistleblower.

Istilah whistleblower atau jika diterjemahkan secara kasar; “peniup peluit”. Kemunculan sering terkait sama kasus korupsi atau kasus pencemaran nama baik. Terus, apa sebenernya whistleblower?

Whistleblower adalah seseorang (pekerja/pegawai/karyawan) yang memutuskan untuk melapor kepada media atau eksternal khalayak tentang hal-hal ilegal dan tidak etis yang terjadi di lingkungan kerjanya.

Di luar negeri sana, seperti di Amerika, Inggris, dan mayoritas negara barat memberikan perlindungan buat whistleblower. Cuma ya seperti biasa, dipake kalo menguntungkan, ngga dipake kalo merugikan.

Di Indonesia, perlindungan bagi whistleblower baru ada tahun 2006 dalam bentuk UU perlindungan saksi dan korban, tapi kalo diamati, isinya masih ngga sepenuhnya melindungi whistleblower.Di Indonesia, aksi para ‘pahlawan’ ini sering berakhir tragis.

Majalah Tempo edisi 17 April 2005 memuat pembahasan tentang pengeroyokan terhadap Lendo Novo, staf ahli Menteri Negara  BUMN pada Kamis malam, 7 April 2005.  Lendo Novo diserang 10 orang tak dikenal yang diduga akan menghilangkan data-data korupsi yang sedang dibawanya.

Kasus lainnya kejadian taun 1996 di Yogyakarta. Arifin Wardiyanto melapor dugaan korupsi dalam urusan perizinan wartel. Naas, ia malah diadukan mencemarkan nama baik. Pengadilan Negeri Yogyakarta menghukum dua bulan penjara. Pengadilan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan tidak bersalah dan bebas dari hukuman penjara. Namun Mahkamah Agung kemudian menghukumnya lagi dua bulan penjara. Kasus yang dilaporkannya tidak pernah diproses.

Endin Wahyudi melaporkan suap yang dilakukannya pada tiga hakim dalam kasus sengketa tanah di Bandung pada tahun 2001, tentunya setelah mendapat jaminan perlindungan saksi. Namun hakim lainnya Marnis dan Supraptini menuduh Endin telah melakukan fitnah dan pencemaran nama baik. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menghukumnya tiga bulan penjara sedangkan hakim yang ia suap bebas karena Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Jakarta Pusat tempat ia melapor menolak dakwaan terhadap ketiga hakim tersebut.

Frans Amanue melaporkan sejumlah kasus korupsi di Kabupaten Flores Timur yang melibatkan Bupati Felix Fernandez di tahun 2003. Ia diadukan mencemarkan nama baik oleh bupati itu. Pengadilan Negeri Larantuka kemudian menghukum Frans dengan hukuman penjara.Muchtar Lutfi melaporkan dugaan korupsi pengadaan kapal KMP Pulau Weh di tahun 2004 yang melibatkan Walikota Sabang, Sofyan Harun. Indikasi kerugian negara senilai Rp 8,6 miliar. Sofyan Harun melaporkan Muchtar Lutfi ke Polres Sabang dan polisi kemudian mengeluarkan surat penangkapan.

Oke, mungkin kasus-kasus di atas itu kejadian taun di mana belum ada UU spesifik yang melindungi saksi. Tapi kita masih ingat para pejabat di KPK yang dipidanakan karena tuduhan yang tak pernah terbukti. Ditambah lagi kasus Susno Duadji.

Susno Duadji kaya yang diberitain Kompas, Senin 22 Maret 2010, membongkar nama jenderal dalam tubuh Polri yang diduga menjadi “markus” atau makelar kasus. Susno Duadji sempat sebut ‘merk’ siapa jenderal yang terlibat tersebut. Tak ayal berita ini bikin petinggi di Polri kebakaran jenggot. Susno segera dipanggil Propam Polri untuk dimintai keterangan dan pihak Polri mengklarifikasi pada pers. Jenderal yang disebut inisialnya oleh Susno pun ngga tinggal diam. Segera dua jenderal yang disebut Susno itu melaporkan kasus pencemaran nama baik. Pada Rabu, 24 Maret 2010 Susno Duadji resmi jadi tersangka.

Padahal, berdasar Surat Edaran Kapolri taun 2005 sama Pasal 310 KUHP yang jelasin kalo ada kasus korupsi dan timbul pihak lain yang merasa nama baiknya dicemarkan, maka Polri harus mengutamakan penyelesaian korupsi dulu. Kita tau bersama, kasus “markus” senilai 25 M yang diungkap oleh Susno belum sama sekali diusut.

Kalo kita amati, Susno Duadji dan pejabat KPK yang dipidanakan ini dijebloskan ke penjara setelah sebelumnya dijebak dengan harta, dan diancan dengan nyawa keluarga. Yang terakhir ini dugaan saya aja sebagai masyarakat yang melihat ada banyak kejanggalan di kasus-kasus tersebut.

Well, itu sedikit(?) tentang whistleblower. Kita balik lagi ke “tidak ada yang aman di internet”.

Kasus Edward Snowden ini bikin dunia gempar. Pernyataannya bahwa intelijen Amerika mempunyai akses langsung ke server situs top dunia membuatnya jadi mendadak dangdut. Sontak negara-negara penentang hagemoni Amerika berlomba-lomba pengen nolongin Edward, entah apa maksudnya.

“Kenapa kamu memutuskan untuk jadi whistleblower?” ujar wartawan yang menginterview-nya.

“NSA telah membangun infrastruktur yang memungkinkan untuk menyadap hampir segala hal. Dengan kemampuan ini, sebagian besar komunikasi manusia secara otomatis terekam secara brutal. Jika saya ingin melihat email atau telepon istri kamu, semua bisa saya lakukan menggunakan penyadapan. Saya bisa mendapatkan email, password, catatan telepon, bahkan informasi kartu kredit.” ujar Edward.

“Saya tidak ingin hidup dalam masyarakat yang melakukan hal semacam ini. Saya tidak ingin hidup di dunia di mana segala sesuatu yang saya lakukan dan katakan, direkam. Itu bukan sesuatu yang saya bersedia untuk mendukung, atau hidup (dalam kondisi yang seperti itu).” tambahnya.

Di sini kita tau negara komunis seperti China dan Rusia, mungkin termasuk negara yang cukup aman dari pantauan “mereka”, terlebih China. China mempunyai teknologi yang mereka klaim jauh lebih dahsyat dari apa yang dimiliki Amerika. Mereka punya komputer sendiri, jaringan internet, satelit, browser, social media, tempat jual beli, alat pembayaran online, dll, yang semuanya dikelola oleh perusahaan-perusahaan lokal.

Impian “mereka” untuk mempunyai one seeing eye kini benar-benar terwujud.

Jadi, saya sendiri cuma bisa pasrah mendapati fakta bahwa semua data saya udah “mereka” miliki. Tidak ada yang aman selama kita belum menguasai, memiliki, dan mengelola sendiri teknologi kita. Sesuatu yang sepertinya hanya kita dan tuhan yang tahu-pun “mereka” tahu.