Yang umum dan sudah dipahami oleh kita (kita?) selama ini ada 4 mihwar atau tahapan. Banyak pihak yang mengatakan bahwa saat ini sedang memasuki tahap terakhir, yaitu mihwar dauli ekonomi. Ya, ekonomi.
Ulala, bahasan apa ini?
Ada banyak hal yang menarik yang muncul dari orang tua saya. Perilaku, cara berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan. Seringkali menggunakan cara-cara yang tidak umum.
Abah sama Ummi saya kalo ngumpul (berdua) seringnya bahas bisnis, keluarga, dan ummat. Entah ngumpul saat kondisi tenang, riang, atau lagi diskusi alot (baca: berantem), yang dibahas juga ngga jauh-jauh dari itu. Yang buat saya kagum itu, berantemnya mereka aja ngomongin ummat. Beuh!
Semalam (sebelum tulisan ini ditulis) saya mendapati mereka sedang diskusi alot ngomongin tentang Jama’ah (if you know what i mean), saya segera ketik apa-apa yang meluncur dari mulut Abah. Sengaja mau saya dokumentasikan. Poin-poinnya aja sih.
Jama’ah lupa bahwa ma’isyah keluarga merupakan support penting dalam dakwah.
Keseringan konsolidasi, mabit, termasuk politik, ngga akan berpengaruh secara signifikan.
Dengan mapannya ma’isyah, dakwah bisa lebih maksimal. Setiap kader bisa masuk ke individu-individu yang berpengaruh dalam hal ekonomi. Ada izzah yang dibangun.
Sekarang sekolah pun pontang-panting.
Artinya ketika eranya begini, mihwarnya sudah seperti ini, sudah harus diubah polanya.
Hmm, emang sih, dari waktu ke waktu kurang lebih selalu begitu. Konsolidasi, mabit, strategi politik. Semua tenaga, pikiran, waktu, dan uang digelontorkan secara deras ke situ. Pembahasan mengenai solusi untuk menguatkan ekonomi setiap keluarga kader nyaris tidak ada, apalagi tindakan (action) yang mengarah ke sana. Ini bicara program official ya, bukan agenda seminar-seminar entrepreneur yang diadakan oleh kader dan wajihah, kalo yang begini emang udah sering, tapi karena tidak official maka keseriusan follow up (dana, pembinaan, dll) juga tidak ada.
Kader yang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari masih pinjam kanan-kiri itu banyak. Banyaaaakkk. Di beberapa tempat, kader seperti ini disubsidi jama’ah. Alhamdulillah masih ada subsidi di beberapa tempat (tidak semua). Tapi sampai kapan mau disubsidi, disuapin? Harusnya dibina bagaimana ia bisa mandiri tanpa pinjam kanan-kiri. Lagi-lagi, harus official. Ada perintah, ada instruksi, dan sistematis.
Bukannya berniat jahat, beberapa kawan yang saya tahu sangat loyal terhadap jama’ah tapi masih belum lega ekonominya saya racuni untuk berhenti dari amanah dan fokus pada pengembangan diri terhadap ekonomi.
“Kamu berenti aja, halaqoh jangan banyak-banyak, 1 cukup. Amanah yang A, B, C itu dilepas. Dapet apa sih kamu? Pahala? Peduli sama orang lain itu bagus, tapi peduli dulu sama diri sendiri.”
“Lepas semua itu, satu tauuunnn aja. Taun depan kamu mau pegang 10 halaqoh juga silahkan. Tapi pastikan selama satu taun ini kamu belajar bisnis secara tekun. Pahala dan harta insya Allah melimpah.”
Ada yang berhasil saya racuni, ada yang (sepertinya) kurang berhasil. Tapi mindset seperti itu emang harus diubah. Bisa rusak nanti.
Buat yang kurang suka, anggep aja angin lalu. Yang suka boleh share. Yang ngga ngerti yaudah ngga apa-apa, hehe.