Perubahan Iklim Sosial

Ibrahim Vatih
3 February 2012

Memperhatikan kondisi kampung halamanku, banyak yang berubah, namun sayang perubahan-perubahan itu justru datang dari para pendatang dan bukan dari orang-orang asli. Sedangkan para penduduk lokal, masih seperti yang dulu. Gitu-gitu aja.

Mengapa? Aku bertanya pada diriku sendiri, penyebab dari semua ini adalah pola pikir masyarakat kampung yang sama rata. Berpikir praktis dengan planning jangka pendek, bukan untuk perubahan masa depan, hanya sekedar angan tanpa pemahaman.

Ada sebuah toko penyedia aneka jajanan roti, dari aku berumur enam tahun hingga sekarang, masih sama. Bentuk yang sama, bentuk bangunan yang tak berubah setelah bertahun-tahun itu.

Ada sebuah rental PlayStation yang dulu menjadi tempat langgananku bersama saudaraku, hingga kini masih sama. Bahkan posisi dan letak tatanan interiornya masih persis.

Ada tempat yang justru mengalami kemunduran, yang tadinya dua bangunan, sekarang hanya tinggal satu. ada tempat-tempat yang bahkan sudah tiada. Beberapa kabar yang kudengar bahwa tempat itu sudah tak digunakan lagi karena bangkrut, terlilit hutang.

Bangunan megah juga mulai tumbuh, yang dibangun oleh orang-orang kapitalis yang semakin menutup peluang usaha bagi masyarakat lokal.

Minimarket, swayalan, dan pusat perbelanjaan mulai menjamur. Toko-toko klontong semakin terpuruk, pusat sembako tradisional mulai sepi, warung-warung kecil yang dulu ramai dikunjungi anak sekolah kini sudah tiada.

Aku sedih ketika teman-teman masa kecilku justru berbondong-bondong pergi meninggalkan kampung untuk mencari sesuap nasi. Dengan semagat ’45 mereka mengunjungi pabrik maupun PT yang mau menampung mereka untuk dipekerjakan.

Aku heran dengan pola pikir mereka yang (seolah) masih jalan ditempat. Menggantungkan hidup pada orang lain, dan tak mencoba untuk berinovasi sendiri. Jaman sekarang kebutuhan akan modal usaha memang sangat diperlukan. Ya, mungkin mereka terkendala disitu. Tapi kembali pada pokok permasalahan bahwa mereka sudah kadung menggantungkan hidup pada perusahaan. Dan harapan mereka (seolah) hanya ada di sana.

Kampung semakin sepi oleh kumpulan pemuda yang menuruku bahwa mereka adalah orang-orang kreatif, berprestasi, unik, dan berpotensi untuk melakukan perubahan. Hanya menyayangkan pola pikir yang sudah turun temurun dari nenek buyut mereka yang masih dipertahankan.

Perubahan kultur sosial tak menjadikan pemikiran mereka berubah. Masih gitu-gitu aja.

SPONSORED: Gorden Karakter Anak (punya temen saya)