The Dream Land

Ibrahim Vatih
11 October 2011

Beribu-ribu kilo meter dari tempat berpijak saya saat ini. Sebuah tanah yang saya rindukan. Sebuah tanda akan kekuasaanNya bahwa suatu saat kelak, saya akan berada di sana. Selalu begitu dan akan tetap begitu.

Terbawa hingga lamunan di wese setiap pagi. Terangan setiap aktifitas sehari-hari. Terbawa hingga mimpi-mimpi. Terbayang di setiap kisah teman-teman saya yang lebih dulu terpenuhi.

* * *

Bermula dari keberangkatan ayah untuk menjelajahi dunia. Sebuah kejutan dariNya yang melangkahkan kaki ayah untuk memenuhi panggilan ke tanah anbiya’ di usianya yang masih sangat muda.

Istilah umumnya adalah sebagai seorang tenaga kerja yang diupah oleh seorang majikan. Bukan sebagai babu, bukan sebagai buruh. Sedikit lebih bergengsi, tapi tak perlu saya sebutkan di sini.

Menghabiskan hari-hari istirahat malamnya di sebuah ruangan sempit di pojokan belakang rumah gedong. Beralaskan tikar tipis ditemani tumpukan barang-barang tak terawat atau biasa kita menyebutnya barang bekas.

Tetap bersabar di sana.
Tetap menikmati hari-harinya.

Jika kebanyakan orang Indonesia menghabiskan waktu kerjanya di satu tempat saja, maka tidak dengan ayah. Ia berkeliling dari satu tempat ke tempat lain menemani orang yang memberinya upah.

Jika kebanyakan lebih sering takut dan minder pada orang pribumi, maka tidak dengan ayah. Karena beliau hampir setiap saat berada di samping orang yang cukup terhormat di sana.

Terjalinnya komunikasi yang terus berlanjut hingga hadirnya keakraban di antara penerima upah dan pemberi upah, menjadikan mereka ibarat pasangan partner di pagi dan siang hari, dan sebagai orang yang tak saling mengenal di malam hari. Keakraban tak menjadikan tempat istirahat ayah berpindah. Masih tetap di ruangan sempit di pojokan rumah gedong, dan masih ditemani barang-barang bekas.

Jam terbangnya sudah cukup banyak. Relasinya sudah menjadi ukhuwah. Menjadikan ayah lebih percaya diri untuk izin mundur dari kontrak kerja dengan si pemberi upah. Dan ketika ditanya “kenapa?”. Ayah hanya menjawab dengan senyum. Rupanya pemberi upah tidak menyadari bahwa begitu banyak teman-temannya yang memberikan applause pada ayah atas semangat kerjanya dan banyak dari mereka yang berminat mempererat ukhuwah dengan ayah.

* * *

Studi memperdalam ilmu islam, haji dengan level di atas ONH+ nya Indonesia, merasakan nyamannya hidup di hotel berbintang selama berbulan-bulan, melakukan umroh sepuasnya. Dan semuanya ayah dapatkan tanpa mengeluarkan banyak uang bahkan bisa dibilang cuma-cuma.

Bahkan di awal tahun ’98 ayah sudah membuat visa dan paspor untuk istri dan anak-anaknya. Merencanakan sebuah agenda besar untuk meninggalkan tanah air, dan memulai kehidupan baru di tanah anbiya’.

Rumah sudah tersedia, sekolah untuk anak-anaknya sudah terjamin hingga perguruan tinggi, dan hampir semua kebutuhan sudah terfasilitasi dengan apik.

Rencana Allah memang lebih indah.

Kerusuhan besar terjadi di Jakarta, yang mengakhiri ke-otoriter-an Soeharto. Penguasa negeri itu tumbang. Mengundurkan diri setelah di taklukkan oleh syiar islam.

Ayah yang tengah berbenah di negeri yang jauh di sana mendengar berita tersebut, bahwa Soeharto telah lengser. Teriakan takbir menggema di hampir seluruh tanah Jakarta.

Saat itu pula hatinya terketuk untuk kembali ke medan juang. Bergabung bersama saudara-saudara lain yang telah 20 tahun lebih menyuarakan Islam dari pelosok ke pelosok, dari kampus ke kampus, dari rumah ke rumah.

Ayah kembali teringat masa-masa melelahkan dulu. Bersama saudara seperjuangan. Melakukan sebuah gerakan underground menghindari sweeping rezim Soeharto.

Ketika dakwah masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ketika baju muslim merupakan pakaian yang tak boleh dikenakan karena memang merupakan strategi dakwah demi menghindari kecurigaan para mata-mata dan intelijen negara era Soeharto. Ketika para aktifis kampus masih dituntut untuk merapikan janggutnya hingga setipis kapas. Ketika syiar Islam hanya dibatasi pada masjid dan pesantren, itupun hanya sekedar kajian ringan. Ketika para muslimah tangguh meneriakkan hijab. Ketika muslimah tangguh dijemur di tengah lapangan sekolah karena masih ngotot mempertahankan selembar kain yang menutupi kepala.

Berbeda dengan masa sekarang. Ketika fasilitas dakwah sudah sedemikian mudah, malah banyak dari para pelaku dakwah yang mulai melenceng.

Ayah terpanggil untuk pulang ke tanah air.

“Kenapa? Negara kamu sudah hancur, tak lagi ada harapan. Berbagai macam masalah terjadi di sana. Korupsi, kriminal, kekerasan. Untuk apa? Kamu bisa hidup damai di negara ini bersama seluruh keluargamu. Lupakanlah Indonesia.”

Ayah adalah orang yang selalu mengambil kebijakan dengan baik, setidaknya itu yang saya rasakan. Termasuk keputusannya untuk meninggalkan The Dream Land.

“Tidak wahai syaikh. Indonesia adalah tanah air saya. Di sana saudara-saudara saya sedang berjuang, menyuarakan Islam. Dan sekarang adalah puncaknya. Jika saya pergi dari medan juang ini maka saya akan menjadi seorang pengecut. Sebuah kesia-siaan yang saya dapatkan di sisi Allah.”

* * *

Ayah benar-benar pulang ke tanah air. Mengakhiri perjalanannya menikmati surga dunia. Meninggalkan gelimangan harta yang berserakan di hadapannya. Benar-benar ia tinggalkan sama sekali. Dan kembali bergabung bersama jama’ah dakwah. Meneruskan perjuangan yang sempat terputus.

Semenjak itu, ayah sering bercerita tentang Dream Land. Semenjak itu pula doktrin-doktrin mengenai Dream Land merasuki kepala saya. Sebuah doktrin yang membuat saya tergila-gila padanya. Alangkah indahnya jika suatu saat saya berada di sana. Merasakan atmosfer kehidupan yang begitu nyaman bersama Al Qur’an.

Jazirah Arab. Inilah daratan yang saya impikan. Membentang begitu luasnya mencakupi beberapa negara rumpun Arab. Sebuah daratan yang pernah ayah taklukkan dengan impiannya. Dan kini impian itu telah ia tularkan pada saya.

* * *

Entah sudah berapa kali saya berkoar-koar tentang impian dan harapan. Tak ada bosannya. Semakin suka.

“Pembahasanmu selalu tentang impian.” kata salah seorang sahabat.

Dream Land yang berada beribu kilometer itu bisa saya rasakan begitu dekat. Seolah ada keterikatan hati antara saya dengannya. Sebuah tanah yang dinantikan.

“Sampaikanlah keinginanmu pada setiap manusia yang kau jumpai.” bisikan lembut yang selalu menyapa setiap saat.

Bukan omong kosong, karena saya benar-benar merasakan manfaat dari aktifitas tersebut walau ada beberapa yang menertawai.

Bagi sebagian orang mungkin terlalu berlebihan jika saya mengatakan bahwa di masa yang akan datang saya akan menemui daratan impian itu.

Ayah mengajarkan pada saya tentang sebuah tekad, harapan, dan do’a. Husnudzon (prasangka baik) pada Allah. Usaha. Ayah memberikan contoh sejarah para ulama dan tholabul ‘ilmi yang berhasil menggenggam dunia dan akhiratnya. Semangatnya dalam menyampaikan selalu bergelora. Dari sana saya mampu merasakan bahwa ayah juga memiliki impian yang sama agar kelak anak-anaknya menjadi manusia yang mampu menggenggam dunia dan akhirat.

Dan perjalanan ini masih akan terus berlanjut.