Vaginal Birth After Cesarean atau VBAC alias lahiran normal setelah sebelumnya lahiran operasi. Butuh persiapan, ilmu, wawasan dan perhitungan yang matang.
Tanggal 18 Juni atau 5 Syawal kemarin alhamdulillah lahir anak ketiga saya dengan proses VBAC ini.
Sekitar 4 tahun yang lalu lahiran anak pertama (2014) alhamdulillah lancar secara normal setelah sebelumnya memperkaya diri dengan materi-materi seputar gentle birth melalui berbagai kelas belajar dan komunitas yang mengutamakan lahiran normal.
Melalui tulisan kali ini saya akan coba menuliskan beberapa poin yang semoga bisa diambil sebagai pelajaran bagi kamu para pembaca. Tapi tulisannya agak berantakan, saya lagi ngga terlalu mikir gimana cara saya menyampaikan pengalaman ini, yang penting jadi tulisan.
CATATAN: Tulisan ini bukan guide, bukan panduan, dan ngga bisa dijadikan rujukan apapun terkait VBAC. Saya hanya tulis apa yang saya alami dan saya yakini.
Keminter
Saya mau mengawali tulisan ini dengan sebuah ibroh (pelajaran).
Keminter atau yang dalam bahasa Indonesia artinya sok pintar, merasa hebat, merasa lebih dari yang lain. Itulah yang ada pada diri kami ketika berhasil melalui proses lahiran anak pertama dengan menggunakan (menerapkan) berbagai teori dan ilmu seputar gentle birth yang kami peroleh dari berbagai sumber.
Yang menjadikan kami sangat percaya diri untuk bisa kembali mengulang proses yang sama untuk anak kedua dan seterusnya.
Tingkat keyakinan kami saat akan lahiran anak kedua (2016) itu bisa dikatakan hampir lupa dengan ketetapan Allah, astaghfirullah.
Kami seperti baru ingat Allah ketika dikabarkan oleh dokter yang melakukan USG kandungan bahwa janin anak kedua kami sungsang, tepat beberapa hari sebelum proses lahiran. Padahal sehari sebelumnya sudah ngunci di panggul (dengan posisi yang sempurna).
Secara mengejutkan Allah berkehendak demikian.
Kami coba untuk membuat janin kembali ke posisi seharusnya, dengan berbagai rumus dan teori yang ada, kami juga berdoa maksimal pada Allah, tapi hasilnya belum sesuai dengan yang kami inginkan.
Begitu cara Allah.
Hati kami saat itu benar-benar terpukul. Suatu hal yang tak pernah kami bayangkan akan terjadi, justru akan kami hadapi; operasi sesar.
Melalui berbagai macam informasi yang kami dapatkan mengenai lahiran normal vs sesar, secara tidak langsung membuat kami memandang sesar itu sesuatu yang sebaiknya dijauhi, dihindari, jangan sampai terjadi.
Begitulah hidup.
Allah menegur kesombongan kami.
Saya sedih.
Sedih karena dosa sombong, sedih karena harus operasi, sedih karena jika membandingan proses lahiran pertama dan kedua suasana hatinya sangat jauh berbeda.
Saya benar-benar sadar bahwa saya salah.
Sambil hati bersedih, saya berusaha untuk meminta ampunan pada Allah atas kesalahan-kesalahan.
Karena sudah terjadi (qadarullah), maka yang bisa saya lakukan adalah berpikir bagaimana ke depan menjadi lebih baik. Bagaimana membuat mental anak kedua kami lebih kuat. Karena kami meyakini bayi yang lahir melalui operasi akan mengalami trauma, dan itu bisa berdampak pada proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
Yang bisa saya lakukan adalah meminta maaf pada anak kedua kami yang masih mungil, berbisik berulang kali melalui telinganya, sampai beberapa hari. Saya juga berulang kali berdoa pada Allah untuk menguatkan hati (mental) dan fisiknya, sambil terus beristighfar. Hanya itu yang bisa saya lakukan, dengan benar-benar menempatkan diri pada puncak kepasrahan agar doa-doa itu dikabul.
Alhamdulillah di usia Elina (anak kedua) yang hampir 2 tahun ini saya bisa merasakan bahwa doa-doa saya insya Allah diijabah Allah. Fisiknya alhamdulillah sangat strong, melahap apa saja tanpa pilah-pilih, begitu juga mentalnya yang ngga cengeng.
VBAC
Iya, kami hidup di tengah-tengah pendapat yang mengatakan kalau sudah lahiran sesar maka berikutnya juga harus sesar, karena memang saya juga mengakui melakukan lahiran normal setelah sesar itu risikonya tinggi.
Tidak sedikit kasus yang berujung pada kejadian horor seperti jahitan rahim yang robek saat proses melahirkan, pendarahan hebat, plasenta yang tidak bisa keluar, dll.
Tapi kami tetap berusaha untuk ikhtiar semaksimal mungkin.
Begitu kami tahu bahwa ternyata Allah kasih hamil lagi (yang ketiga), usaha-usaha untuk persiapan VBAC segera kami lakukan.
Mengatur pola makan (konsumsi), mengontrol berat janin, olahraga, suplemen, membaca kisah-kisah VBAC, kembali dengan komunitas, dan tak lupa memohon terus-menerus tanpa henti pada Allah disertai sikap pasrah dan tawakkal.
Belajar dari dosa keminter sebelumnya.
Bahkan saya sama istri sudah sepakat kalau ujungnya nanti harus operasi lagi, kami siap dan ngga ada masalah. Legowo, ikhlas. Kami ingin buang rasa keminter dan sombong itu dari diri kami. Alhamdulillah Allah berikan kemudahan.
Yang penting ikhtiar maksimal, dilanjut tawakkal, maka Allah kasih yang terbaik.
Kendala
Beberapa syarat untuk dibolehkan VBAC yaitu jarak antar anak sesar dengan yang mau lahiran normal adalah 2 tahun, juga berat badan janin disarankan tidak lebih dari anak sebelumnya. Tapi 2 poin itu justru terjadi pada anak ketiga kami.
Setelah kami konsultasikan pada bidan di Sidoarjo yang sudah sering tangani VBAC, beliau mengatakan yang penting pas lahiran nanti tekanan darah normal dan bekas jahitan tidak terasa nyeri, insya Allah aman.
Melakukan Kontrol
Kontrol yang kami lakukan di anak ketiga ini bisa dibilang ngga rutin tiap bulan, seperlunya saja. Seingat saya totalnya hanya kontrol 5 kali. 1 kali di salah satu RS di Madiun, 1 kali di salah satu klinik di Magetan, dan 3 kali di bidan di Sidoarjo yang saya dan istri pilih nantinya akan menolong kami melakukan proses lahiran VBAC.
Melahirkan
Istri saya mempunyai keturunan usia kandungan lebih dari 10 bulan. Ibu mertua saya anak-anaknya 10 bulan semua, kakak ipar saya 4 anaknya juga lebih dari 10 bulan semua. Anak pertama dan kedua saya juga lebih dari 10 bulan.
Setelah dihitung, kemungkinan HPL-nya adalah hari H lebaran Idulfitri.
Tanggal 17 Juni (H+4 lebaran), istri saya mulai rutin kontraksi per 15 menit, yang intensitasnya semakin mengecil menjadi 10 menit dan terus mengecil sampai keesokan harinya tanggal 18 Juni.
Kami mau berangkat ke TKP, tapi kami dapat info kalau bidan masih lebaran, baru bisa 2 hari kemudian. Kabar baiknya bidan sudah mengutus asistennya untuk stand by di klinik.
Di saat yang hampir bersamaan, saya dapat info kalau hari itu adalah puncak mudik ke arah Surabaya. Saya cek Google Maps memang ada beberapa titik kemacetan.
Istri saya khawatir kalau terjebak macet bisa membuat tubuhnya stres dan ngga stabil.
Setelah berpikir agak lama, diskusi agak tegang, dan membuat beberapa opsi, saya dan istri sepakat untuk cancel lahiran di Sidoarjo karena faktor macet.
Kami diinfokan oleh bidan untuk datang ke lokasi nanti setelah kontraksi sudah per 5 menit. Beliau sudah menghitung waktu tempuh juga. Akan tetapi yang luput dari perhitungan kami adalah faktor kemacetan itu. Benar-benar di luar bayangan.
Padahal sejak awal kehamilan, lahiran di Sidoarjo sudah menjadi plan besar dan plan utama kami. Sudah sangat cocok dengan bidannya, dengan fasilitasnya, juga dengan tata caranya. Pokoknya cocok semua. Tapi keputusan harus diambil.
Kami putuskan untuk lahiran di daerah Magetan saja.
Tanggal 18 Juni sejak memasuki waktu ashar istri saya udah ngga mau saya tinggal lama-lama, minta saya untuk terus ada di sebelahnya, minta diusap-usap pinggang setiap kali kontraksi.
Opsinya tinggal:
- Lahiran di klinik bidan
- Operasi lagi
- Home birth ditemani bidan
- Home unassisted birth
Opsi pertama tidak kami pilih, karena protap di bidan yang punya klinik itu meski sudah bukaan lengkap, kalau bidannya lihat bekas jahitan sesar, maka bidan ngga mau tolong dan akan dirujuk ke rumah sakit. Kecuali bidan sudah sangat dekat dan berani ambil risiko juga. Protap itu memang dibuat untuk safety. Alasan lanjutan mengapa opsi pertama tidak kami pilih akan dijelaskan singkat di opsi kedua di bawah.
Opsi kedua, operasi lagi, kami memilih ngga menjadikan ini sebagai prioritas karena tanda-tanda yang terjadi pada proses yang semakin dekat ini tidak menunjukkan alasan yang kuat untuk memilih operasi lagi.
Kenapa opsi pertama dan kedua harus ada? Di kondisi seperti ini ya menurut kami ngga ada masalah mencantumkan itu sebagai bagian dari opsi yang bisa kami pilih, yang penting ada diskusi antara saya dan istri untuk ambil keputusan yang sama-sama sepakat.
Opsi ketiga, home birth ditemani bidan, ngga bisa karena banyak bidan masih mudik lebaran, dan kami ngga buat janjian dengan bidan di sekitar tempat tinggal kami, karena memang ini tidak masuk dalam plan kami dari awal. Kami hanya membuat janjian sama bidan yang di Sidoarjo.
Dengan segala kemungkinan yang ada, kami sepakat untuk ambil opsi keempat yaitu unassisted birth. Proses persalinan yang ngga ditemani tenaga medis.
Unassisted Birth
Waktu semakin larut, maghrib tiba.
Saya beberapa kali mengkonfirmasi ke istri, menyamakan suara bahwa kita sepakat untuk lahiran sendiri di rumah dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Ini rencana super dadakan dan ngga pernah ada dalam birth plan kami.
Saya tetap terbayang resiko-resiko VBAC ditambah lagi unassisted.
Di waktu yang mepet itu saya mikir sebentar, sejenak.
Dalam waktu yang mepet, saya mengingat-ingat segala materi yang nyangkut di otak saya. Saya ambil kesimpulan bahwa kunci utama VBAC (dari berbagai poin yang mesti dipenuhi) adalah bekas jahitan tidak terasa nyeri. Saya confirm terkait bekas jahitan ini beberapa kali ke istri ketika kontraksi.
Beberapa poin lain yang mestinya juga dijadikan pertimbangan VBAC saya abaikan.
Kalau bekas jahitan sampai terasa nyeri maka ngga ada pilihan lain selain dibawa ke RS untuk naik ke meja operasi. Tapi karena istri confirm ngga ada sakit di bekas jahitan, maka saya juga yakin untuk lahiran di rumah.
Saya berani unassisted karena pada proses kelahiran anak pertama saya ikut menemani dan membantu proses persalinan. Bu bidannya menawarkan pada saya untuk membantu, beliau hanya memandu dari sebelah saya. Pernah saya tulis di sini. Sedikit banyak saya masih ingat proses yang pernah saya lakukan sekitar 4 tahun yang lalu itu.
Saya kabari orangtua saya, dan beberapa saudara yang lain. Saya titip anak-anak saya, saya ungsikan ke rumah mbahnya (rumah kami sebelahan). Saya minta tolong saudara saya (Umar Rosyadi) untuk membelikan underpad di apotik (yang setelah dicari-cari ke beberapa apotik baru ketemu, rata-rata kosong). Saya juga titip degan ijo untuk asupan tenaga.
Siang sampai sore ternyata istri juga sudah nyicil makan ruthob (kurma muda) dan minum sari kurma. Saya juga siapkan air zam-zam di botol yang ada sedotannya biar gampang.
Beberapa menit setelah underpad datang, ketuban keluar dari jalan lahir dan mulai merembes. Saya segera pasang beberapa underpad di bawah pinggang istri (sebagai alas).
Kontraksi makin intens. Saya mbatin waktunya sudah tiba.
Istri kesulitan untuk menahan supaya ngga mengejan, karena memang sakitnya proses kontraksi persalinan. Saya katakan untuk tahan tidak mengejan sampai rambut atau kepala bayi kelihatan. Beberapa kali saya ingatkan istri karena memang dalam kondisi seperti itu harus terus diingatkan, supaya tenaga ngga cepat habis (terbuang untuk hal yang belum saatnya).
Sekitar 15 menit setelah ketuban merembes, saya sudah bisa lihat kepala bayinya.
Pikiran saya campur aduk, kok cepet banget (ngga seperti anak pertama dulu), kok saya sendirian ga ada temen, terus abis ini ngapain, saya harus ngomong apa lagi ke istri.
Saya coba untuk tenang dan logis.
Saya kasih tahu istri kepala bayi udah kelihatan.
Udah boleh mengejan kalau emang mau, meski saya ingat teorinya tetap lebih baik ngga mengejan sampai bayi keluar seutuhnya. Tapi di situasi itu saya percayakan saja naluri seorang ibu. Yang penting kalau mau mengejan memang waktunya sudah lebih pas ketika kepala sudah kelihatan.
Saat itu posisi istri masih miring ke kiri dengan kaki kanan bertumpu pada gym-ball. Saya katakan padanya untuk mengubah posisi menjadi telentang agak duduk. Saya bantu ubah posisi, saya tambah banyak sekali bantal-guling di punggungnya, entah ada berapa. Sampai dia merasa nyaman.
Seingat saya, setelah posisi telentang agak duduk itu, kontraksi hanya terjadi 3 kali yang selama kontraksi itu dia terus peluk saya, saya usap-usap kepalanya, saya kipas-kipas. Saya cek posisi kepala sudah keluar 70% dan ngga lama sudah keluar semua kepalanya.
Saya lihat mata bayi mungil itu beberapa kali berkedip tapi tak bersuara, dengan posisi kepala menghadap ke bawah (posisi yang bagus).
Jeda sebentar. Atur tenaga lagi, sambil posisi kepala bayi saya putar pelan-pelan ke arah kanan bayi sekitar 30-40 derajat.
Pada kontraksi dan mengejan selanjutnya semua badan keluar, saya tangkap, saya angkat. Bayi keluar diikuti derasnya air ketuban yang juga ikut tumpah keluar. Sambil berkali-kali saya dan istri ucapkan hamdalah. Saya cek ada 1 kali lilitan tali plasenta di lehernya, saya lepas.
Bayi nangis sebentar, saya angkat ke dada ibunya untuk IMD (Inisiasi Menyusui Dini) supaya mendapat kolostrum.
Beberapa menit berlalu, saya baru ingat untuk catat waktu lahir, saat saya cek waktu sudah menunjukkan jam 20.40. Saya anggap lahirnya jam 20.30.
Tapi setelah itu saya agak khawatir kok nangisnya cuma sebentar, ditepuk-tepuk punggungnya ngga langsung merespon. Saya telpon asisten bidan yang di Sidoarjo. Dia memastikan ke saya bahwa warna bayi merah, bayi ada aktifitas, dan udah nangis meski sebentar. Saya confirm iya, dan ternyata memang normal, ngga ada masalah. Nangisnya tidak harus lama. Saya agak khawatir karena waktu anak pertama memang agak lama tangisannya.
Asisten bidan juga minta saya cek ada pendarahan atau ngga, saya katakan ngga ada. Bekas jahitan juga diconfirm apakah ada nyeri, kata istri tidak ada.
Alhamdulillah semua dimudahkan Allah, dilancarkan.
Sambil bayi cari-cari puting susu ibunya, saya beres-beres sebentar, cuci tangan, ambil kain karena air ketuban lumayan banyak yang tumpah-tumpah.
Ngga lama setelah itu ada yang ketuk-ketuk pintu, ibu saya. Saya katakan alhamdulillah udah lahir, beliau agak kaget tapi juga senang. Beliau langsung woro-woro ke anggota keluarga yang lain sambil cari info bidan untuk dipanggil bantu finishing.
2 adik ipar perempuan saya masuk dan bantu-bantu istri. Ibu saya masih belum berani, agak takut.
Abah saya juga menunggu di luar sambil kasih arahan untuk baca surat Al Zalzalah berkali-kali supaya dimudahkan Allah untuk menguras rahim (plasenta dan sisa-sisa item lainnya).
Plasenta keluar sekitar 10 menit setelahnya.
2,5 jam kemudian bidan baru datang bantu finishing. Karena memang bidan yang lain ngga bisa. Bidan yang datang dan bantu itupun baru selesai silaturahim dari rumah saudaranya dan harus prepare dulu, ditambah lokasinya agak jauh.
Ada beberapa jahitan.
Disuntik dengan hormon oksitosin karena memang untuk VBAC direkomendasikan untuk suntik hormon tersebut untuk mencegah terjadinya pendarahan.
Rahim juga sudah mengeras yang artinya bagus, normal.
Kami ngga lagi pakai lotus birth sebagaimana anak pertama, karena saat ini kami tidak lagi melihat ini sebagai sebuah tahapan yang harus ada. Selama 2,5 jam sambil menunggu bidan, IMD dilakukan, dan plasenta masih sambung ke bayi, itu udah lebih dari cukup.
Plasenta dipotong, bayi dibedong, dipindah ke kasur lain, ibunya dibersihkan sama bu bidan sampai tuntas.
Kedua anak saya ikut menengok adek barunya, alhamdulillah everybody happy.
Setelahnya ya normatif aja. Semua proses selesai sekitar jam 00.00.
Sampai tulisan ini saya buat, kami belum menyepakati nama yang akan diberikan untuk anak perempuan yang lahir dengan panjang 51 cm dan berat 3,8 kg ini.
Sekian dulu.
‘Alaa kulli haal.. Alhamdulillah.