Yang Penting Makan

Nasi Goreng Thailand
Ibrahim Vatih
7 June 2014

Ada banyak orang di sana yang masih susah memenuhi kebutuhan pokok satu ini, makan. Bagi kita yang masih dengan mudah terhadap hal ini, mari bersyukur, juga mendo’akan semoga mereka yang diuji dengan lapar mendapat berkah dan nilai tersendiri di sisi Allah.

Dalam tulisan ini, saya tidak sedang membahas apa yang tertulis di paragraf pertama. Saya ingin berbagi tentang pola hidup sehat melalui makanan.

Apa yang kita makan ikut berperan penting menjadikan siapa diri kita kelak. Rumus ini berlaku untuk segala hal yang masuk ke dalam diri kita, bukan hanya makanan, tapi juga ilmu, pengetahuan, pendidikan, dll.

8 sampai 10 tahun yang lalu, saya termasuk individu yang bisa dibilang freak soal jajanan. Apapun yang enak di mulut akan saya lahap, tidak peduli kandungan apa yang terdapat di dalamnya. Kebiasaan ini terus berlangsung bahkan sampai saya tahu bahwa makanan A mengandung bahan yang kurang baik untuk tubuh. Saya baru bisa mengontrol kebiasaan buruk ini setahun belakangan.

Ada banyak efek negatif yang saya rasakan secara cepat dan lambat. Ada yang langsung menghantam beberapa organ tubuh tak lama setelah mengkonsumsi makanan tertentu, ada pula yang efeknya menyerang organ lain di waktu kemudian (beberapa bulan atau tahun setelah kebiasaan itu terus terepitisi).

Metabolisme saya terganggu, mau makan 5 kali sehari pun, susah rasanya untuk bikin badan jadi agak berisi. Saya kadang ngga nyangka kalau lihat foto diri saya dan mbatin ya ampun ceking amat nih orang.

Saya juga merasakan inteligence saya berkurang, udah ngga seperti dulu. Dulu kalau olahraga (bola sepak) termasuk playmaker atau man of the match. Kemampuan multitasking saya juga menurun, dalam beberapa kasus, saya susah untuk konsen menyimak sebuah penjelasan.

Saya pernah 5 atau 6 kali rawat inap di rumah sakit karena typus, penyakit yang menyerang lambung. Apalagi penyebabnya kalau bukan pola makan. Gigi graham sebelah kanan menjadi rapuh dan sensitif. Dulu berlubang, kemudian ditambal, tapi tetap ngga bisa sempurna, tetap sensitif.

Kalau dulu yang penting makan adalah melahap apapun yang enak di mulut, sekarang tidak. Yang penting makan sudah berubah, selama berdampak baik bagi tubuh, makan.

Sudah 2 bulan ini saya memperhatikan makanan dengan seksama berdasarkan tekstur, kelembutan, proses pembuatan, zat yang terkandung, dan kemasan. Hingga akhirnya daftar makanan yang saya blacklist semakin meningkat drastis.

Semua minuman kemasan sebisa mungkin saya hindari (sedikit toleransi untuk air mineral). Semua snack dengan warna atau tampilan yang horor menjadi alergi untuk saya sentuh. Dan makanan di pinggiran jalan menjadi tidak menggoda.

Dulu sangat freak terhadap mie ayam dan bakso, sampai-sampai saya bisa mengajak kamu untuk menyantap mie ayam atau atau bakso paling enak dengan lokasi terdekat dari posisi kamu berdiri saat sedang di Jogja. Sekarang lebih memilih nasi rames kalau sedang di jalan.

Berdasarkan efek yang saya rasakan sekarang, ada kemungkinan sel tubuh dan sel jaringan otak saya mengalami kerusakan (gangguan). Saat ini saya sedang dalam proses therapy perbaikan sel jaringan otak melalui teknologi herbal (organik), ada satu obat yang saya konsumsi, namanya enbepe. Meski belum rutin, tapi sudah ada perubahan yang saya rasakan.

Intinya, sensitifitas saya terhadap makanan sekarang lebih meningkat. Proses filtering dan piah-pilih menjadi lebih selektif. Iyalah, udah jadi bapak, dan menyelaraskan keinginan untuk bisa bermanfaat bagi banyak orang, setiap pilihan harus berdasar ilmu, bukan sekedar enak ngga enak.

Yang penting makan sehat, bukan makan enak. Ini termasuk bagian dari investasi untuk dunia dan akhirat kita. Udah gitu aja. Semoga ada manfaat yang bisa diambil.